Didalam dunia desain grafis pasti pernah merasakan duka terkait kemampuannya dalam
mendesain sesuatu. Ya, ini terkait erat dengan kebiasaan bangsa ini yang
belum bisa menghargai hasil karya orang.
Uang rokok sampai ucapan terima kasih sudah kenyang mereka terima.
Tapi ternyata itu masih belum seberapa dibandingkan ketika orang yang
memesan desain, kemudian berkata, “Ah, gitu doang?”
Ya, mungkin logo atau desain yang dibuat memang ‘gitu doang‘.
Tapi asal kamu tahu, silakan lihat logo Symantec atau paling tidak logo
British Petroleum (BP). Kedua logo itu memang terlihat ‘gitu doang‘.
Tapi jangan kaget kalau harga keseluruhan desainnya mencapai 211 juta
untuk BP dan 1,28 miliar untuk Symantec. Jangan kaget lagi ya, itu bayarnya pakai dollar. Terbayang ‘kan seberapa mahalnya dua logo tersebut?
Memang sih, kedua perusahaan tersebut, dan perusahaan lain yang
membayar mahal untuk logonya, bukan semata untuk membeli logo saja. Tapi
lebih kepada soal branding yang disertai logo tersebut. Kali
ini anak desain grafis bergabung dengan anak humas. Namun tetap saja,
logo adalah kuncinya, yang menafsirkan arah kebijakan perusahaan dalam
sebuah bentuk, warna, dan simbol yang bisa diaplikasikan dalam beragam
media.
Makanya, buat kamu yang masih menganggap sebuah desain sebagai barang yang ‘gitu doang‘, atau cuma seharga beberapa bungkus kuaci, atau mungkin pulsa 20 ribu, maka beberapa alasan berikut mesti dibaca baik-baik. Nggak semua orang bisa mendesain. Nggak semua orang bisa mendesain. via Pexels.com
Desain apapun itu, mau logo, baju, hingga gapura 17-an sekalipun
nggak banyak orang yang bisa melakukannya. Ya, hatta cuma desain doang.
Sebab nggak semua orang bisa, maka spesifikasi keahlian mendesain ini
seharusnya jadi nilai yang berharga.
Katakanlah seseorang dengan keahlian mendesain logo, dibandingkan
dengan seseorang yang cuma bisa Corel Draw. Hasilnya bakal beda meskipun
keduanya sama-sama punya keahlian di bidang Corel Draw. Mengapa begitu?
Jawabannya satu: ilmu. Nanti kamu bakal lebih tahu setelah beberapa
daftar di bawah ini. Mendesain itu memakan waktu. Butuh waktu yang tak sedikit ketika mendesain sesuatu. via Pexels.com
Sekarang memang sudah ada software instan untuk membuat
logo. Tapi yang namanya instan, tentu hasilnya bakal lain dibandingkan
dengan logo yang dikerjakan secara manual. Belum lagi kalau logonya
sudah dipakai orang. Sebab generator logo semacam itu sangat memungkinkan logo-logo yang sama pun sudah dipakai orang lain untuk kepentingannya. Nah ‘kan tengsin kalau logonya sama dengan yang lain?
Untuk itulah, ada waktu yang mesti dibutuhkan untuk melakukan riset
terkait logo yang bakal didesain. Kemudian pengerjaan logo yang sudah
diriset itu pun pastinya butuh waktu yang membuat banyak desainer
mengambil lemburan. Ini belum terkait dengan riset konsep nilai-nilai dan makna filosofis yang terkandung dalam sebuah desain. Memikirkan tentang konsep sering bikin baper. Mendesain itu rumit, kadang memang bikin baper sih. via Pexels.com
Sebelum sebuah desain dituangkan ke layar monitor, para desainer
bakal membubuhkan coret-coretan terlebih dahulu di secarik kertas. Ini
yang disebut konsep, draft, maupun rancangan. Konsep ini mesti
diuji berkali-kali terlebih dahulu tentang bentuk dan warnanya apakah
sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan klien.
Selain memakan waktu, pembuatan konsep ini membutuhkan curahan
pikiran yang utuh dan terfokus. Pekerjaan desainer adalah pekerjaan seni
yang prosesnya hampir sama dengan pekerjaan seniman lainnya. Ia butuh
kinerja maksimal dari otak kanan. Dan kalau pekerjaannya mentok, si otak
perasa ini akan memicu pikiran untuk baper. Pekerjaan desainer tak cuma butuh otak, tapi tenaga dan biaya juga. Membeli komputer untuk mengerjakan desain pesanan, tentu tak memakai daun. via Pexels.com
Rata-rata desainer memakai aplikasi di komputer untuk memudahkan
pekerjaannya. Entah itu Corel Draw, Adobe Photoshop, Ilustrator, atau
apa saja yang sekiranya bisa digunakan. Tapi, tentu saja intinya bukan
itu.
Aplikasi tersebut hanya berjalan di komputer, sementara komputer
membutuhkan listrik yang dibayar setiap bulannya. Tentu secara langsung,
pekerjaan desainer membutuhkan biaya semacam ini. Belum lagi kalau sang
desainer berhubungan dengan klien memakai email dan telepon, maka sudah
ada tambahan paket data internet dan pulsa telepon. Belum lagi ketika
mendesain sesuatu dibarengi dengan minum kopi, ditambah cemilan, dan
lainnya.
Biaya ini diluar biaya sekolah, kursus-kursus, dan peningkatan
kualitas yang dibutuhkan untuk mencapai ‘gelar’ desainer tersebut.
Nah, dari beberapa alasan diatas seharusnya membuat kamu menyadari dibalik desain yang ‘gitu doang‘
itu, memang punya harga yang seharusnya tak bisa disamakan dengan
‘harga teman’. Ada nilai-nilai profesional yang seharusnya dijaga dan
dipelihara. Sehingga bangsa Indonesia tak lagi dicap sebagai bangsa yang
sering dianggap tak bisa menghargai sebuah karya.
Namun dengan kondisi yang masih seperti sekarang, dimana nilai sebuah
desain tak dihargai di negeri sendiri, banyak desainer lokal yang
berjibaku mencari dollar di internet. Klien mereka rata-rata orang
asing, yang mana ketika disini dibayar Rp.50.000,- maka oleh bule-bule
itu mereka dihargai lebih dari $500 beserta tipsnya yang membuat senyum
cerah.
Oleh karena itu, diluar soal perbedaan harga desain di dalam dan luar
negeri, ada baiknya kultur tidak profesional yang sering meminta ‘harga
teman’ apalagi sampai cuma ucapan terima kasih saja dihilangkan. Ingat,
menjadi desainer itu tidak gampang dan pastinya tidak gratis.
Sumber : https://besoklusa.com/berhenti-meminta-desain-harga-teman/